Selasa, 06 April 2010

SERTIJAB FORPIS

SERAH TERIMA JABATAN. SEBELAH KIRI (HERI SUSANTO), KANAN (ARINI ARISANDI).

JUMBARA Ke-VII Tingkat JABAR

FOTO BARENG (PENGURUS, KSR, TSR, FORPIS)

KONTINGEN KAB GARUT JUMBARA Ke-VII Tingkat JABAR

APAKAH FORPIS ITU????

Pengertian : Forpis merupakan kumpulan perwakilan PMR untuk menyalurkan dan mengkoordinir aspirasi PMR Mula, Madya, dan Wira.
Tujuan : Meningkatkan peran aktif PMR dalam proses pengambilan keputusan dan kepemimpinan PMI.

Kedudukan
- Forpis berada ditingkat Pusat, Daerah, dan Cabang
- Forpis tidak mempunyai kepengurusan sehingga dalam melaksanakan fungsinya dikoordinir
oleh Presja atau Presiden Remaja (Forpis Nasional), Koordinator Daerah atau Korda (Forpis Daerah), dan Koordinator Cabang atau Korcab (Forpis Cabang), dan dibantu oleh tim sekretariat yaitu Divisi/Bidang/Unit PMR dan Relawan ditingkat PMI Pusat, Daerah, dan Cabang
- Forpis berasal dari unsur PMR Wira, karena ditinjau dari segi usia dan kapasitas telah mampu menyalurkan dan mengkoordinir aspirasi PMR Mula, Madya, Wira
- Peserta Forpis adalah para ketua PMR Wira, atau perwakilan unit PMR yang mempunyai karakter kepemimpinan Mekanisme
- Forpis mengadakan pertemuan minimal setahun sekali ditingkat Pusat, 6 bulan sekali ditingkat PMI Daerah, dan 3 bulan sekali ditingkat Cabang
- Pembahasan Forpis adalah topik-topik strategis pengembangan PMR Mula, Madya, dan Wira yang kemudian dilaksanakan oleh seluruh anggota PMR dengan pendekatan Youth Centre

Alur koordinasi :
- Forpis Cabang berkedudukan di PMI Cabang
- Forpis Daerah berkedudukan di PMI Daerah
- Forpis Nasional berkedudukan di PMI Pusat

Kapan mengadakan pertemuan…
- Forpis Cabang : minimal 3 bulan sekali
- F; Forpis Daerah : minimal 6 bulan sekali
- Fopsis Nasional : minimal 1 tahun sekali

Peran & tanggung jawab :

1. Nama jabatan: Presiden Remaja (Presja)
Fungsi utama:
1) Sebagai pemimpin Forpis Nasional
2) Tanggung jawab umum: Mengkoordinir korda
3) Tanggung jawab teknis: Menyalurkan aspirasi PMR ke PMI Pusat
4) Menyalurkan informasi dan keputusan dari PMI Pusat ke seluruh Korda, melalui Tim Sekretariat
5) Mengontrol jalannya program kerja Forpis Nasional
6) Memberikan laporan kepada PMI Pusat
7) Sebagai delegasi PMR di ajang Internasional

Hubungan internal:
PMI Pusat (Divisi PMR dan Relawan), PMI Daerah (Bagian PMR dan Relawan), PMI
Cabang (Bidang PMR dan Relawan), Korda, Forum Relawan Nasional

Hubungan eksternal:
Presiden Remaja PM/BSM Internasional, departemen/dinas/instansi terkait tingkat
nasional dan internasional

2. Nama jabatan: Koordinator Daerah (Korda)
Fungsi utama:
1) Sebagai pemimpin Forpis Daerah
2) Tanggung jawab umum: Mengkoordinir korcab
3) Tanggung jawab teknis:Menyalurkan aspirasi PMR ke PMI Daerah
4) Menyalurkan informasi dan keputusan dari PMI Daerah ke seluruh Korcab, melalui Tim Sekretarriat
5) Mengontrol jalannya program kerja Forpis Daerah
6) Memberikan laporan kepada PMI Daerah
7) Sebagai delegasi PMR di tingkat nasional

Hubungan internal:
Presja, Korcab, PMI Daerah (Bagian PMR dan Relawan),PMI Cabang (Bidang PMR
dan Relawan), Forum Relawan Daerah

Hubungan eksternal:
Korda seluruh Indonesia, departemen/dinas/instansi terkait tingkat Propinsi

3. Nama jabatan: Koordinator Cabang (Korcab)
Fungsi utama:
1) Sebagai pemimpin Forpis Cabang
2) Tanggung jawab umum: Mengkoordinir Ketua Unit PMR
3) Tanggung jawab teknis: Menyalurkan aspirasi PMR ke PMI Cabang
4) Menyalurkan informasi dan keputusan dari PMI Cabang ke Ketua unit PMR, melalui tim sekretariat
5) Mengontrol jalannya program kerja Forpis Cabang
6) Memberikan laporan kepada PMI Cabang
7) Sebagai delegasi PMR di tingkat daerah

Hubungan internal: Korda, Ketua PMR, PMI Cabang (Bidang PMR dan Relawan),
Forum Relawan Cabang

Hubungan eksternal: Korcab, departemen/dinas/instansi terkait tingkat
kota/kabupaten

Sumber daya (SDM, material, dana)
1. PMI
2. Donatur
3. Unit Usaha (kas, penggalangan dana PMR, dll)

Hasil yang diharapkan
- Adanya rencana kerja pembinaan dan pengembangan PMR untuk pusat, daerah, dan cabang sesuai prioritas kebutuhan dan kapasitas, yang proses penyusunannya melibatkan unsur pengurus, staf, relawan, dan anggota PMR.
- Adanya akses bagi anggota PMR dan kesadaran untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan dan kepemimpinan PMR
- Peningkatan kapasitas PMI Pusat, Daerah, dan Cabang dalam pembinaan dan pengembangan PMR

Sejarah terbentuknya PMI

Seperti Palang Merah Internasional, lahirnya PMI juga berkaitan dengan kancah peperangan, diawali pada :

A. MASA SEBELUM PERANG DUNIA II

1. 21 Oktober 1873 Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie ( NERKAI ) didirikan Belanda.

2. Tahun 1932 Dr. RCL Senduk dan Dr. Bahder Djohan merencanakan mendirikan badan PMI.

3. Tahun 1940 pada sidang konperensi NERKAI, rencana diatas ditolak karena menurut Pemerintah Belanda, rakyat

Indonesia

belum mampu mengatur Badan Palang Merah Nasional.

B. MASA PENDUDUKAN JEPANG.

Dr. RCL Senduk berusaha lagi untuk mendirikan Badan PMI namun gagal, ditolak pemerintah Dai Nippon.



C. MASA KEMERDEKAAN RI

1. 17 Agustus 1945 RI Merdeka.

2. 3 September 1945 Presiden Soekarno memerintahkan kepada Menteri Kesehatan Dr. Buntaran Martoatmodjo untuk membentuk Badan Palang Merah Nasional. Pembentukan PMI dimaksudkan juga untuk menunjukan pada dunia Internasional bahwa negara Indonesia adalah suatu fakta yang nyata.5 September 1945 Menkes RI dalam Kabinet I ( Dr. Boentaran ) membentuk Panitia 5 :

Ketua : Dr. R. Mochtar.

Penulis : Bahder Djohan.

Anggota : Dr. Djoehana.

Dr. Marzuki.

Dr. Sintanala.

17 September 1945 tersusun Pengurus Besar PMI yang dilantik oleh Wakil Presiden RI Moch. Hatta yang sekaligus beliau sebagai Ketuanya.

D. MASA PERANG KEMERDEKAAN.

Pada masa itu peperangan terjadi dimana – mana, dalam usia muda PMI menghadapi kesulitan, kurang pengalaman, kurang peralatan dan dana. Namun orang – orang secara sukarela mengerahkan tenaganya, sehingga urusan Kepalangmerahan dapat diselenggarakan. Dari pertolongan dan bantuan seperti :

§ Dapur Umum ( DU ).

§ Pos PPPK ( P3K ).

§ Pengangkutan dan perawatan korban pertempuran.

§ Sampai penguburan jika ada yang meninggal.

Dilakukan oleh laskar – laskar Sukarela dibawah Panji Palang Merah yang tidak memandang golongan, agama dan politik.

Pada waktu itu dibentuk Pasukan Penolong Pertama ( Mobile Colone ) oleh cabang – cabang, anggotanya terdiri dari pelajar.

E. BEBERAPA PERISTIWA SEJARAH PMI

1. Tanggal 16 Januari 1950.

Dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 25 / 1950 tentang pengesahan berdirinya PMI.

2. Tanggal 15 Juni 1950.

PMI diakui oleh ICRC.

3. Tanggal 16 Oktober 1950.

PMI diterima menjadi anggota Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dengan keanggotaan No. 68.

F. NAMA – NAMA TOKOH YANG PERNAH MENJADI KETUA PMI

1. Ketua PMI ke 1 ( 1945 – 1946 ) : Drs. Moch. Hatta.

2. Ketua PMI ke 2 ( 1945 – 1948 ) : Soetarjo Kartohadikoesoemo.

3. Ketua PMI ke 3 ( 1948 – 1952 ) : BPH Bintoro.

4. Ketua PMI ke 4 ( 1952 – 1954 ) : Prof. Dr. Bahder Djohan.

5. Ketua PMI ke 5 ( 1954 – 1966 ) : P. A. A. Paku Alam VIII.

6. Ketua PMI ke 6 ( 1966 – 1969 ) : Letjen Basuki Rachmat.

7. Ketua PMI ke 7 ( 1970 – 1982 ) : Prof. Dr. Satrio.

8. Ketua PMI ke 8 ( 1982 – 1986 ) : Dr. H. Soeyoso Soemodimedjo.

9. Ketua PMI ke 9 ( 1986 – 1992 ) : Dr. H. Ibnu Sutowo.

10. Ketua PMI ke 10 ( 1992 – 1998 ) : Hj. Siti Hardianti Rukmana.

11. Ketua PMI ke 11 ( 1998 - 2004 ) : Mari’e Muhammad.

12. Ketua PMI ke 12 (2004 - 2009) : Mari’e Muhammad

13. Ketua PMI Ke 13 (2009 - SEKARANG) : M. Jusuf Kalla

G.
Musyawarah Nasional adalah pemegang kekuasaan tertinggi didalam perhimpunan PMI, dihadiri oleh utusan – utusan Cabang, Daerah serta Pengurus Pusat. Diadakan tiap 4 tahun. Saat ini PMI memiliki 306 Cabang dari 31 Propinsi ( Daerah ).

TUJUAN PMI :

Meringankan penderitaan sesama manusia apapun sebabnya, dengan tidak membedakan golongan, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

LAMBANG PMI :

1. PMI menggunakan lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda PERLINDUNGAN sesuai dengan ketentuan Palang Merah Internasional,

2. Lambang PMI sebagai anggota Palang Merah Internasional adalah Palang Merah di atas dasar warna putih,

3. Lambang PMI sebagai Perhimpunan Nasional adalah Palang Merah di atas dasar putih dilingkari bunga berkelopak lima.

KEANGGOTAAN PALANG MERAH

INDONESIA

Didalam Anggaran Dasar PMI pada Bab VII pasal 11 disebutkan : Organisaasi PMI mempunyai anggota yaitu :

1. Anggota Remaja.

2. Anggota Biasa.

3. Anggota Kehormatan.

1. ANGGOTA REMAJA.

§ Wanita – Pria usia di bawah 18 tahun Warga Negara

Indonesia.

§ Mendaftarkan diri secara sukarela di sekolah masing – masing.

§ Mendapat ijin atau persetujuan orang tua.

KEWAJIBAN :

A. Mengikuti pendidikan dan latihan dasar Kepalangmerahan.

B. Bersedia membantu tugas – tugas Kepalangmerahan dan tergabung dalam wadah / kegiatan Palang Merah Remaja.

C. Menjaga nama baik organisasi serta mempererat persahabatan baik nasional maupun internasional.

D. Mempertinggi ketrampilan dan kecakapan dalam tugas Kepalangmerahan.

HAK :

A. Dapat menjadi Anggota Biasa PMI jika telah mencapai usia 18 tahun.

B. Mendapat kesempatan pendidikan Kepalangmerahan.

C. Ikut aktif dalam Palang Merah Remaja.

D. Dapat mengikuti kegiatan – kegiatan sebagai Anggota Remaja baik di Dalam Negeri maupun di Luar Negeri.

Lambang Kristal Merah, Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional

A. Sejarah Lambang
Lambang Palang Merah
Sebelum Lambang Palang Merah diadopsi sebagai Lambang yang netral untuk memberikan pertolongan kepada tentara yang terluka di medan perang, pada waktu itu setiap pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria misalnya, menggunakan bendera putih. Perancis menggunakan bendera merah dan Spanyol menggunakan bendera kuning. Akibatnya, walaupun tentara tahu apa tanda pengenal dari personel medis mereka, namun biasanya mereka tidak tahu apa tanda pengenal personel medis lawan mereka. Pelayanan medis pun tidak dianggap sebagai pihak yang netral. Melainkan dipandang sebagai bagian dari kesatuan tentara, sehingga tanda pengenal tersebut bukannya memberi perlindungan namun juga dianggap sebagai target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.
Lambat laun muncul pemikiran yang mengarah kepada pentingnya mengadopsi Lambang yang menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin pula perlindungan mereka yang membantu di medan perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu Lambang. Namun yang menjadi masalah kemudian, adalah memutuskan bentuk Lambang yang akan digunakan oleh personel medis sukarela di medan perang. Dalam suatu kurun waktu, ikat lengan berwarna putih dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Namun, warna putih telah digunakan dalam konflik bersenjata oleh pembawa bendera putih tanda gencatan senjata, khususnya untuk menyatakan menyerah. Penggunaan warna putih pun dapat menimbulkan kebingungan sehingga perlu dicari suatu kemungkinan Lambang lainnya.
Delegasi dari Konferensi Internasional tahun 1863 akhirnya memilih Lambang Palang Merah di atas dasar putih, warna kebalikan dari bendera nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) sebagai bentuk penghormatan terhadap Negara Swiss yang memfasilitasi berlangsungnya Konferensi Internasional saat itu. Bentuk Palang Merah pun memberikan keuntungan teknis karena dinilai memiliki desain yang sederhana sehingga mudah dikenali dan mudah dibuat. Selanjutnya pada tahun 1863, Konferensi Internasional bertemu di Jenewa dan sepakat mengadopsi Lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan bagi tentara yang terluka – yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Nasional Palang Merah. Pada tahun 1864, Lambang Palang Merah di atas dasar putih secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.
Lambang Bulan Sabit Merah
Delegasi dari Konferensi 1863 tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan tertentu, dengan mengadopsi Palang Merah di atas dasar putih. Namun pada tahun 1876 saat Balkan dilanda perang, sejumlah pekerja kemanusiaan yang tertangkap oleh Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) dibunuh semata-mata karena mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini, mereka menekankan mengenai kepekaan tentara kerajaan terhadap Lambang berbentuk palang dan mengajukan agar Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk menggunakan Lambang yang berbeda yaitu Bulan Sabit Merah. Gagasan ini perlahan-lahan mulai diterima dan memperoleh semacam pengesahan dalam bentuk “reservasi” dan pada Konferensi Internasional tahun 1929 secara resmi diadopsi sebagai Lambang yang diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh Persia (saat ini Iran). Tahun 1980, Republik Iran memutuskan untuk tidak lagi menggunakan Lambang tersebut dan memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah.
Perkembangan Lambang: Kristal Merah
Pada Konferensi Internasional yang ke-29 tahun 2006, sebuah keputusan penting lahir, yaitu diadopsinya Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan dan memiliki status yang sama dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal Merah tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan III tentang penambahan Lambang Kristal Merah untuk Gerakan, yang sudah disahkan sebelumnya pada Konferensi Diplomatik tahun 2005. Usulan membuat Lambang keempat, yaitu Kristal Merah, diharapkan dapat menjadi jawaban, ketika Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak bisa digunakan dan ‘masuk’ ke suatu wilayah konflik. Mau tidak mau, perlu disadari bahwa masih banyak pihak selain Gerakan yang menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan tertentu.
Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua pilihan yaitu: dapat digunakan secara penuh oleh suatu Perhimpunan Nasional, dalam arti mengganti Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah yang sudah digunakan sebelumnya, atau menggunakan Lambang Kristal Merah dalam waktu tertentu saja ketika Lambang lainnya tidak dapat diterima di suatu daerah. Artinya, baik Perhimpunan Nasional, ICRC dan Federasi pun dapat menggunakan Lambang Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan tanpa mengganti kebijakan merubah Lambang sepenuhnya.
B. Ketentuan Lambang
Bentuk dan Penggunaan
Ketentuan mengenai bentuk dan penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:
1. Konvensi Jenewa I Pasal 38 – 45
2. Konvensi Jenewa II Pasal 41 – 45
3. Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4. Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun 1965
5. Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tahun 1991
Pada penggunaannya, penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai menyentuh pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang Bulan Sabit Merah, arah menghadapnya (ke kanan atau ke kiri) tidak ditentukan, terserah kepada Perhimpunan yang menggunakannya.
Selanjutnya, aturan penggunaan Lambang bagi Perhimpunan Nasional maupun bagi lembaga yang menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Nasional, misalnya untuk penggalangan dana dan kegiatan sosial lainnya tercantum dalam “Regulations on the Use of the Emblem of the Red Cross and of the Red Crescent by National Societies”. Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku sejak 1992.
Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :
> Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
> Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik
Apabila digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk mengingatkan bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai Tanda Pengenal juga menunjukan bahwa seseorang, sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk itu, Gerakan secara organisasi dapat mengatur secara teknis penggunaan Tanda Pengenal misalnya dalam seragam, bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang-undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya.
Apabila Lambang digunakan sebagai tanda pelindung, Lambang tersebut harus menimbulkan sebuah reaksi otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang harus selalu ditampakkan dalam bentuknya yang asli. Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik terhadap Palang Merah, Bulan Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin, ukurannya harus besar, yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya perlindungan bagi:
> Personel medis dan keagamaan angkatan bersenjata
> Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata
> Unit dan transportasi medis Perhimpunan Nasional apabila digunakan sebagai perbantuan terhadap pelayanan medis angkatan bersenjata
> Peralatan medis.
Penyalahgunaan Lambang
Setiap negara peserta Konvensi Jenewa memiliki kewajiban membuat peraturan atau undang-undang untuk mencegah dan mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan untuk melindungi Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Dengan demikian, pemakaian Lambang yang tidak diperbolehkan oleh Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan merupakan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan Lambang yaitu:
> Peniruan (Imitation):
Penggunaan tanda-tanda yang dapat disalah artikan sebagai lambang Palang Merah atau bulan sabit merah (misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial.
> Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation):
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah oleh kelompok atau perseorangan (perusahaan komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan lambang oleh orang yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang yang berhak menggunakan lambang namun menggunakannya untuk dapat melewati batas negara dengan lebih mudah pada saat tidak sedang tugas).
> Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave
misuse)
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah dalam masa perang untuk melindungi kombatan bersenjata atau perlengkapan militer (misalnya ambulans atau helikopter ditandai dengan lambang untuk mengangkut kombatan yang bersenjata; tempat penimbunan amunisi dilindungi dengan bendera Palang Merah) dianggap sebagai kejahatan perang.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2. International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC, Geneva.
3. International Committee of the Red Cross, 2005, Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Adoption of an Additional Distinctive Emblem (Protocol III). ICRC, Geneva.
4. International Committee of the Red Cross,1991, Regulation on the Use of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies, ICRC, Geneva, 1991.
5. Palang Merah Indonesia, 2006, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Palang Merah Indonesia tahun 2004 – 2009, Markas Pusat PMI, Jakarta.
6. Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah

Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI)

Apa yang dimaksud dengan Hukum Perikemanusiaan Internasional?

Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian bersenjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian dan membatasi cara-cara dan metode peperangan. Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah istilah yang digunakan oleh Palang Merah Indonesia untuk Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Istilah lain dari Hukum Humaniter Internasional ini adalah "Hukum Perang" (Law of War) dan "Hukum Konflik Bersenjata" (Law of Armed Conflict).

Dari mana asalnya Hukum Perikemanusiaan Internasional?

Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum.

Dalam sejarahnya hukum perikemanusiaan internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum tersebut dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, berdasarkan pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum itu mewakili suatu keseimbangan antara tuntutan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangannya komunitas internasional sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum perikemanusiaan internasional. Dewasa ini hukum perikemanusiaan internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.

Dimana Hukum Perikemanusiaan Internasional dapat ditemukan?

Sebagian besar dari hukum perikemanusiaan internasional ditemukan dalam empat Konvensi Jenewa tahun 1949. Hampir setiap negara di dunia telah sepakat untuk mengikatkan diri pada Konvensi itu. Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 telah dikembangkan dan dilengkapi dengan dua perjanjian lanjutan yaitu Protokol-protokol Tambahan tahun 1977.

Ada juga beberapa perjanjian internasional yang melarang penggunaan senjata-senjata tertentu dan taktik militer. Perjanjian ini termasuk Konvensi Den Haag tahun 1907, Konvensi Senjata Biologi tahun 1972, Konvensi Senjata Konvensional tahun 1980 dan Konvensi Senjata Kimia tahun 1993. Konvensi Den Haag tahun 1954 mengatur perlindungan bangunan dan benda sejarah selama pertikaian bersenjata.

Banyak aturan hukum perikemanusiaan internasional yang sekarang diterima sebagai hukum kebiasaan internasional yang berarti telah menjadi aturan umum yang diterapkan di semua negara.

Apa cakupan Hukum Perikemanusiaan Internasional?

Ada dua bahasan yang menjadi cakupan hukum perikemanusiaan internasional, yaitu:

1. Perlindungan atas mereka yang tidak dan tidak lagi mengambil bagian dan suatu pertikaian.
2. Batasan-batasan atas sarana peperangan, khususnya persenjataan dan metode atau cara-cara peperangan seperti taktik-taktik militer.

Apa yang dimaksud dengan Perlindungan?

Hukum perikemanusiaan internasional melindungi mereka yang tidak ambil bagian atau tidak terlibat dalam pertikaian yaitu seperti warga sipil serta petugas medis dan rohani. Hukum perikemanusiaan juga melindungi mereka yang tidak lagi ambil bagian dalam pertikaian seperti mereka yang telah terluka atau korban kapal karam, mereka yang sakit atau yang telah dijadikan tawanan.

Orang yang dilindungi tidak boleh diserang. Mereka harus bebas dari penyiksaan fisik dan perlakuan yang merendahkan martabat. Korban yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Aturan-aturan yang terinci, termasuk penyediaan makanan serta tempat berteduh yang layak dan jaminan hukum, berlaku bagi mereka yang telah dijadikan tawanan atau mengalami penahanan.

Tempat-tempat dan objek-objek tertentu seperti rumah sakit dan ambulans, juga dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran penyerangan. HPI menetapkan sejumlah lambang-lambang yang dapat dikenali dengan jelas dan sinyal-sinyal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang dan tempat-tempat yang dilindungi. Lambang-lambang ini termasuk palang merah dan bulan sabit merah.

Persenjataan dan taktik-taktik apa saja yang dibatasi?

Hukum perikemanusiaan internasional melarang segala sarana dan cara-cara peperangan yang:

* gagal membedakan antara mereka yang terlibat dalam pertikaian dan mereka seperti warga sipil, yang tidak terlibat dalam pertikaian;
* menyebabkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak semestinya;
* menyebabkan kerusakan lingkungan yang berkepanjangan atau sangat parah.

Hukum perikemanusiaan internasional juga telah melarang penggunaan berbagai jenis persenjataan tertentu termasuk peluru ledak, senjata kimia dan biologi serta senjata "laser-blinding weapon."

Kapan Hukum Perikemanusiaan Internasional Berlaku?

Hukum perikemanusiaan internasional hanya berlaku pada saat terjadi pertikaian bersenjata. Hukum tersebut tidak dapat diterapkan pada kekacauan dalam negeri seperti tindakan-tindakan kekerasan yang terisolasi. Hukum perikemanusiaan internasional juga tidak mengatur apakah suatu negara dapat menggunakan kekuatan (militernya) karena hal ini diatur oleh aturan berbeda (namun sama pentingnya) yaitu hukum internasional yang terdapat dalam Piagam PBB. Hukum perikemanusiaan internasional hanya berlaku pada saat suatu konflik dimulai dan berlaku sama kepada semua pihak tanpa memandang siapa yang memulai pertikaian.

Hukum perikemanusiaan internasional membedakan antara pertikaian bersenjata internasional dan pertikaian bersenjata internal (dalam negeri). Pertikaian bersenjata internasional adalah pertikaian yang sedikitnya melibatkan dua negara. Pertikaian seperti itu tunduk pada aturan yang lebih luas termasuk diatur dalam empat Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan pertama. Aturan yang lebih terbatas berlaku bagi pertikaian bersenjata internal-khususnya yang ditetapkan dalam Pasal 3 dari setiap ke-empat Konvensi Jenewa dan Prokokol Tambahan kedua. Namun di dalam pertikaian bersenjata internal, seperti halnya dalam pertikaian bersenjata internasional, semua pihak harus mematuhi hukum perikemanusiaan internasional.

Adalah penting untuk membedakan antara hukum perikemanusiaan internasional dengan hukum hak asasi manusia. Meski beberapa aturan dari keduanya ada yang sama, kedua hukum ini telah berkembang secara terpisah dan terdapat dalam perjanjian yang berbeda. Secara khusus hukum hak asasi manusia, tidak seperti hukum perikemanusiaan internasional, berlaku pada masa damai dan banyak aturannya mungkin ditangguhkan selama suatu pertikaian bersenjata berlangsung.

Apakah Hukum Perikemanusiaan Internasional benar-benar berjalan?

Tragisnya contoh-contoh pelanggaran hukum perikemanusiaan internasional tak terhitung telah terjadi dalam pertikaian bersenjata di seluruh dunia. Bahkan korban yang meningkat dalam peperangan adalah warga sipil. Namun, terdapat hal-hal penting dimana hukum perikemanusiaan internasional telah membuat suatu perbedaan dalam melindungi warga sipil, tawanan, korban luka dan sakit serta dalam membatasi penggunaan senjata yang semena-mena. Bahwa hukum itu berlaku selama masa-masa traumatik, penerapan hukum perikemanusiaan internasional akan selalu menghadapi kesulitan-kesulitan berat, penerapan efektif dari hukum itu selamanya akan tetap mendesak.

Sejumlah tindakan telah diambil untuk mempromosikan penghormatan terhadap hukum perikemanusiaan internasional. Negara-negara berkewajiban untuk memberikan pendidikan tentang hukum perikemanusiaan internasional kepada angkatan bersenjata dan masyarakat umum negaranya. Mereka harus mencegah dan jika perlu menghukum semua pelanggaran hukum perikemanusiaan internasional. Utamanya mereka harus memberlakukan hukum untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran paling serius Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokol-protokol Tambahan yang dianggap sebagai kejahatan perang. Beberapa tindakan juga telah dilakukan pada level internasional. Pengadilan-pengadilan ad hoc telah dibentuk untuk menghukum tindakan-tindakan yang dilakukan dalam dua pertikaian yang terjadi beberapa waktu lalu yaitu di bekas Yugoslavia dan Rwanda. Dewasa ini pengadilan permanen internasional yang akan dapat menghukum kejahatan perang sudah disepakati untuk didirikan. Dasar hukumnya adalah Statuta Roma 1998 tentang pendirian Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court). Pengadilan yang akan berkedudukan di Den Haag Belanda itu terbentuk bila Statuta tersebut sudah diratifikasi 60 negara, sementara saat ini baru 4 negara yang meratifikasinya.

Apakah melalui pemerintah, melalui organisasi-organisasi atau sebagai perorangan, kita dapat memberikan suatu sumbangan penting bagi penerapan hukum perikemanusiaan internasional.